Kamis, 22 Maret 2018

Nikah, Sarjana dan Bapak

"Gimana kalau nikahnya nanti setelah lulus S1?" jawaban Bapak ketika mengetahui ada seorang pemuda yang meminta ijin untuk menikahi putrinya. Bapak tak langsung menerima atau menolak pemuda tersebut, tapi beliau memilih bernegosiasi bersama saya. Dan pertanyaan tadi adalah tawaran Bapak.
.
Wajar Bapak berpikiran seperti itu. Bapak, di kantor adalah seorang staf biasa. Bapak sering bercerita tentang rekan kerjanya yang seorang wanita, masih muda namun karirnya sudah jauh melampaui Bapak. Muda, cantik, berpendidikan tinggi dan dihormati banyak orang. Bapak sering mengatakan bahwa kelak saya harus seperti rekan Bapak itu, jangan lelah mengejar karir dan pendidikan. Ketika saya baru lulus kuliah dan bekerja pada sebuah perusahaan, Bapak berpikir harapan Bapak akan segera terwujud, sampai suatu ketika datang seorang pemuda yang meminta saya padanya. Saya masih ingat jawaban saya saat itu.
.
"Pak, menikah tak akan menghalangi saya untuk mengejar pendidikan tinggi. Insyaalloh walaupun sudah menikah, kalau ada rezeki dan kesempatan, saya akan meneruskan kuliah ke jenjang S1." Melihat keteguhan saya akhirnya Bapak mengijinkan saya menikah.
.
Namun, 9 tahun berlalu setelah hari itu. Ternyata saya belum bisa memenuhi janji saya. Sebenarnya saya sudah berniat ingin melanjutkan S1 tapi ternyata semua tidak semudah yang dibayangkan. Setelah menikah, mengandung, menyusui, mengandung lagi. Ah, rasanya saya tak tega jika harus menggunakan waktu 'sisa' kantor saya untuk kuliah lagi, meninggalkan anak-anak lagi. Kapan waktu kebersamaan kami?
.
Pak, semoga Bapak mengerti, tingginya pendidikan  mungkin akan berbanding lurus dengan keadaan ekonomi keluarga, anak-anak akan hidup lebih senang. Tapi bukankah kita tak hanya harus meninggalkan generasi yan

g kuat ekonominya, namun juga kuat iman dan akhlaknya? Saya ingin berjuang untuk itu, menjadi madrasah tempat iman, tauhid dan akhlak diajarkan langsung dari ayah dan ibunya. Biarlah waktu saya saat ini saya gunakan untuk mendidik anak di rumah, walaupun hanya di 'sisa' waktu kantor. Hidup adalah pilihan, silakan lakukan pilihan terbaik. Saya percaya wanita-wanita karir di luar sana pun berjuang untuk kebaikan keluarganya.
.
Saya tidak muluk-muluk berharap Zaid akan dapat menghapal Al-Quran dalam waktu singkat, Naizar agar menjadi juara kelas atau Bilal agar memenangkan kontes balita sehat. Saya hanya berjuang agar kelak mereka menjadi investasi baik untuk kedua orang tuanya, dan terus memperkuat rantai generasi yang kaya, kaya iman, kaya hati, kaya ilmu dan kaya harta.
.
Semoga suatu hari saya dapat mewujudkan keinginan Bapak. Untuk sementara, di usia pernikahan putrimu yang hampir menginjak usia 10 tahun ini, saya persembahkan anak-anak shaleh buah kecerdasan seorang guru, kesabaran seorang ayah, dan hasil didikan seorang ibu lulusan Diploma 3.

***

Ditulis untuk Kakeknya anak-anak, pria gagah pertama yang melindungi ibu mereka.
.
NB : Ga usah fokus pada 10 tahun usia pernikahan deh, udah tua? Emang, putranya aja udah 3 😅😅😅
.
.
#30DWC
#30DWCJilid12
#squad8
#inisialte

Minggu, 11 Maret 2018

Doa dan Sepotong Mangga



Kedamaian di pagi hari terusik oleh tangisan Naizar. Pengen kupas mangga, katanya. Saya yang terlanjur masuk ke kamar mandi dan membuka pakaian akhirnya berteriak memanggil Abinya Naizar
“Bi, Bi, tolong, Dede mau kupas mangga.” Terdengar suara Abinya Naizar mengiyakan. Tapi suara tangisan Naizar terdengar makin keras. Ada apa ini? Saya mulai kesal. Pintu kamar mandi diketuk, Abinya Naizar.
“Dede kupas mangganya pengen sama ibu.” Ujarnya. Astagfirulloh Naizaaaarrr… Dengan cepat saya kembali berpakaian, lalu dengan kaki yang menghentak keras saya mendekati Naizar yang masih menangis.
“Dede, kenapa kupas mangganya harus sama Ibu, kan Ibu lagi mandi?” tanya saya kesal sambil meraih mangga dan pisau yang disodorkan Abinya Naizar. Melihat saya mulai mengupas mangga kesukaannya, tangisan Naizar mereda, tapi emosi saya tidak. “Ibu teh kan mau kerja, nanti Ibu kesiangan. Kalau mau kupas mangga mah sama siapa aja atuh, ga usah sama Ibu, rasanya tetep sama ko.”
Dengan kesal saya mengupas kulit, dan memotong daging buah seperti potongan dadu. Mulut saya diam, tapi hati saya tetap menggerutu. Kesaaal, pasti bakal kesiangan ngantor gara-gara mengupas mangga. Ketika setengah potong mangga sudah tersaji dipiring saya baru tersadar. Ya Alloh, mangga ini saya sajikan dengan kesal, sambil menggerutu, tidak ikhlas. Apakah ada keberkahan di dalamnya? Mangga ini akan dinikmati oleh putra saya, akan jadi energi yang mengalir ditubuhnya. Apakah energinya akan mengalir baik jika cara penyajiannya tidak baik?
Allohumagfirli wali walidayya warhamhuma kamaa rabbayani shogiroo. Saya mengajarkan doa agar Alloh menyayangi saya sebagaimana saya menyayangi Naizar sewaktu kecil. Tapi seperti inikah saya menyayangi Naizar? Menyiapkan makanan saja tidak ikhlas, bagaimana mungkin Alloh akan ikhlas pada diri saya.
Astagfirullohaladzhim. Ampuni saya, Rabb. Saya membalik bagian mangga yang belum terkupas dan mulai berdoa. Saya ikhlas, menyajikan makanan untuk putra saya dengan ridho, agar Alloh pun menyayangi saya dengan ridho. Semoga Alloh mengampuni khilaf saya.
Potongan mangga telah tersaji dipiring. Saya serahkan pada Naizar yang menerimanya dengan hati gembira. Selamat menikmati, Nak, potongan mangga berbalut doa, semoga menjadi energi terbaik untuk beribadah dan menuntut ilmu. Aamiin.


*Ditulis buat Anak Sholeh yang selalu senang saat musim buah mangga tiba, Naizar.

Kamis, 22 Februari 2018

Duhai Kamu yang Mukanya Hitam

Liburan panjang selama hampir 1 bulan kemarin, menyisakan kulit wajah Zaid yang makin menghitam. Maklum anak-anak, mumpung liburan makin asyik menghabiskan waktu bermain di luar bersama teman-temannya. Sebenarnya keluarga kami tidak termasuk keluarga berkulit putih, tapi juga ga hitam-hitam amat, yaa sawo mateng mepet busuk lah, hahaha.
.
Suatu hari, sifat jail saya kambuh. Lalu saya mengomentari wajah Zaid yang makin menghitam itu.

"Kakak meuni hideung ih." (Kakak, hitam deh)

Diluar dugaan, entah mungkin sedang sensi atau bagaimana, Zaid menanggapi komentar saya dengan cemberut.
.
"Jadi Kakak teh gimana atuh biar putih?" nah lho.. "Sok Kakak harus pake apa biar putih kayak Ibu?" beu. Saya menahan tawa. Mungkin Zaid terbiasa melihat saya memakai masker ala-ala, dan dia pikir bisa putih karena masker itu, cantik kayak artis Korea. "Dulu Ibu pernah bilang ga apa-apa hitam juga, asal sholeh.." Suara Zaid terdengar lemah. Saya tertegun.
.
Memang sih, jika ada saudara yang berkunjung ke rumah lalu berkomentar tentang kulit muka Zaid yang makin menghitam, saya selalu menabahkan Zaid, "Ga apa-apa hitam juga, asal sholeh." Dan hari ini keisengan saya harus membuat saya kembali menanamkan prinsip itu.
.
Duhai kamu, anak sholeh yang bermuka hitam, Alloh tidak melihat rupamu, tapi keimanan dihatimu. Ingatlah Bilal Bin Rabah, budak hitam legam yang kisahnya berlanjut ke Surga karena ketaqwaannya. Tetap semangat wahai Si Hitam Manis 😘😘😘

***

Selasa, 10 Oktober 2017

Bolu Kukus Naizar

Suatu pagi saat mengantar Zaid dan Naizar pergi sekolah.  Kami berempat boncengan dalam satu sepeda motor,  Zaid,  Abinya anak-anak,  Naizar,  dan saya paling belakang.  Seperti biasa kami mampir ke toko jajanan pasar.

Zaid dan Naizar memilih kue kesukaan mereka,  masing-masing 3 jenis kue. Tak lupa bolu kukus yang jadi favorit mereka. Zaid memilih bolu kukus strawberry dan Naizar bolu kukus coklat.  Agar transaksi di toko kue tersebut berlangsung cepat, saya menyatukan bekal mereka dalam 1 plastik,  biarlah nanti saya memilahnya sendiri.

Di perjalanan menuju sekolah,  hati-hati saya keluarkan plastik bungkusan kue lalu mulai memilah kue sesuai pemiliknya ke dalam kotak makan masing-masing. Tiba-tiba.. sslllrrtt.. Sepotong kue yang entah punya siapa terlepas dari plastik..  jatuh. Aaah.... Setelah saya selesai memilah akhirnya saya tahu bahwa yang terjatuh tadi adalah bolu kukus coklatnya Naizar.

"De,  Ibu minta maaf,  bolu kukusnya jatuh,  nanti pulang sekolah kalau toko kuenya masih buka kita beli lagi bolu kukusnya ya?" ujar saya saat kami tiba di sekolah dan saya menyerahkan kotak makan kepada Zaid dan Naizar. Naizar mengangguk lesu,  ada gurat kecewa diwajahnya,  tapi seketika kembali ceria ketika mendengar janji saya untuk membeli kue lagi.

Setelah berpamitan,  kami melanjutkan perjalanan. Kali ini giliran suami saya mengantar saya ke kantor.

"Bi,  kasian ya,  Naizar,  bolunya jatuh, gara-gara Ibu... " ujar saya ditengah perjalanan.

"Gak apa-apa,  kan nanti pulangnya mau beli lagi. " Suami saya menabahkan.

Ah,  pria memang selalu terlihat lebih santai. Sedangkan saya,  kepikiran teruuusss.. Merasa berdosa,  teringat Naizar yang mungkin akan kekurangan bekal karena saya menjatuhkan bolu kukus kesukaannya. Mungkin Naizar hanya bisa memandang Zaid menikmati bolu kukus kesukaan mereka,  sementara bolu kukus Naizar malah saya jatuhkan walaupun secara tidak sengaja.

Mungkin saya terlalu terbawa perasaan,  hingga saat jam istirahat kantor pun saya masih membahas tentang bolu kukus bersama suami via pesan singkat.

"Inget bolu kukus Naizar.. " ketik saya.

"Bu,  ternyata tadi bolunya gak jatuh ke jalan,  jatuhnya nyelip di antara knalpot dan step motor.  Tadi pas turun dari motor baru keliatan. " balas suami saya.

"Wah?" saya kaget

"Iya,  sama Abi dimakan aja bolunya.. Hehe.. " Hah?  Saya makin kaget.

"Gimana rasanya?" tanya saya penasaran. Terbayang bolu kukus yang sudah dibawa perjalanan jauh,  nyelip diantara knalpot motor yang panas dan udara jalanan yang kotor.  Entah sudah seperti apa bentuknya.

"Emh,  ya gitu deh,  agak-agak krispi gitu.. Maklum kepanasan sepanjang jalan.. " HOWEEEEKK... Jijay!!!  Mohon untuk tidak ditiru.

Bolu kukus Naizar.. Eh,  bolu kukus krispi Naizar.

Foto : http://kokimasak.com/resep-membuat-bolu-kukus/

***


Kamis, 28 September 2017

Nikmat

Di rumah kami, jika ingin makan dengan nikmat, maka saya dan suami harus makan secara bergantian. Biasanya saya makan terlebih dahulu, suami yang berjaga mengajak main anak-anak agar tak mengganggu saya makan. Setelah selesai, gantian suami yang makan dan saya yang berjaga, hehe.

Tapi jika ingin makan dengan lebiiiih nikmat, maka kami bisa langsung makan bersama, saya, suami, Zaid Si Sulung, Naizar Si Tengah dan Bilal Si Bayi. Apa yang membuat lebih nikmat? Entahlah.. mungkin karena pada saat suapan pertama Naizar tak sengaja menumpahkan air minumnya sehingga saya harus mengepel lantai ditengah acara makan, Zaid yang bolak balik minta tambah nasi, atau Bilal yang tengah asik meremas-remas nasi di atas piring tiba-tiba saja BAB. Aduhai....

Acara makan yang menguras emosi itu akan diakhiri dengan suami yang rela membereskan sisa makanan yang berceceran dan saya yang bertugas mencuci piring. Alhamdulillah...

Nama Panjang

Suster (+) , Saya (-)

(+) Boleh disebutkan nama lengkapnya, Bu?
(-) Triani
(+) Nama panjangnya?
(-) Triani aja, ga ada panjangnya
(+) Ini, 'Triani Mulyadin'? (nunjuk kertas pendaftaran, saya membaca nama di kertas pendaftaran)
(-) Oh, Mulyadin mah nama suami saya
(+) Oh iya, Bu, ga apa-apa, ketentuan baru namanya harus 2 kata, jadi ini ditambahkan nama penangggung jawab pasien dibelakang nama ibu
(-) Oh, gitu? (saya merenung sejenak) eh.. tp bisa dirubah ga namanya? Nama saya aja diulang jadi 2 kali, jadi 'Triani Triani'
(+) Bisa dirubah, Bu, tp ga bisa diulang jadi 'Triani Triani'
(-) Oh ya udah itu aja dulu ga apa-apa, 'Triani Mulyadin'

Itu adalah salah satu peristiwa 'mengenaskan' efek dari punya nama yg singkat. Triani. Saja. Mungkin satu-satunya keuntungan punya nama singkat adalah ketika ngisi bulatan2 di Lembar Jawaban Komputer ketika ujian sekolah dulu, cepet ngisinya, ga kayak org2 yg punya nama panjang. Daaaan alhamdulillah punya suami yg namanya satu kata jg... 😂

Btw, kira2 nama panjang yg cocok utk saya apa ya? Mmm.. Triani Chelaluchayankkamoe... *plakkk

Rabu, 27 September 2017

Banyak Anak

Saya hamil. Hahaha, berikut beberapa reaksi unik yang pernah saya terima ketika saya mengatakan dua kata di awal tulisan ini :

1. Waah, Tri, hamil lagi, selamat ya.. meuni rajin -> Ini reaksi yang paling bingung harus saya tanggapi dengan sikap bagaimana, soalnya reaksinya antara ikut bahagia plus ngeledek 😁

2. Astagfirullah, Triiii... Hamil lagi??  -> Ungkapan yang aneh, seolah saya hamil tanpa suami, nyebelin!! 😑

3. Euleuh-euleuh Tri, budak leutik boga budak 😂 -> Ini nih, bingung juga, antara pengen nabok sama pengen ngejitak 😅😅

Kenapa saya banyak menerima ungkapan unik? Karena mungkin saya keseringan bilang 'hamil' gkgkgkgkgk. Kadang kalau dapat ungkapan itu pas lagi sensi, saya suka ngedumel. Emang kenapa kalau saya punya anak lagi?  Ngerepotin situ ga?  Yang nganter  kontrol ke RS situ bukan?  Tiap saya melahirkan nengok ga?  Ngasi kado ga? Ikut ngasuh ga?  Daaann.. banyak lagi..

Yaa kan sebenarnya bedanya cuma diungkapannya aja kan ya,  misal kalau lahiran anak pertama : Alhamdulillah,  telah lahir putra pertama kami.... Kalau saya sudah sampe sini : Alhamdulillah telah lahir putra ketiga kami.... Greget yang baca nya mungkin beda 😆 Padahal perjuangan ngelahirinnya sama lho ya.  Pernah saya minta doa sama sahabat saya : Doain ya,  moga lahiran anak ketiga ini lancar. Dan jawabannya : Ah,  percaya lah sama kamu mah,  sudah expert di bidangnya.. 😂😂😂 Jadi menurut ibu-ibu saya kemarin didoain ga sama sahabat saya itu?

Ah pokonya mah,  buat ibu-ibu yang senasib sama saya,  yang sering menerima ungkapan unik, karena anaknya banyak, santai aja ya,  Bu,  hadapi saja dengan senyuman.. Ecieee..  Silakan tanya sama ibu-ibu yang sudah bertahun-tahun menikah namun belum kunjung diberi momongan,  saya yakin mereka lebih memilih banyak anak dibanding ga punya anak. Banyak anak itu keren, Bu,  kalau mendidiknya benar dan ikhlas anak bisa jadi investasi kita untuk sama-sama membangun perahu kecil untuk ke Surga.

Buat ibu-ibu sholehah yang belum kunjung dikaruniai momongan,  tetap sabar dan ikhtiar ya,  Bu. Tetap berprasangka baik sama Alloh,  yakinlah amanah dan cinta Alloh tak pernah datang terlambat,  ia akan datang pada waktu yang tepat.  Lagipula sebutan 'anak' tak melulu ditujukan untuk seseorang yang lahir dari rahim kita. Tetap semangat!

Sekian curhat pagi ini,  ditulis saat udara dingin ditengah goncangan angkot Cimahi - Padalarang..

***