Kedamaian di pagi hari terusik oleh tangisan Naizar. Pengen kupas mangga, katanya. Saya yang
terlanjur masuk ke kamar mandi dan membuka pakaian akhirnya berteriak memanggil
Abinya Naizar
“Bi, Bi, tolong, Dede mau kupas mangga.” Terdengar
suara Abinya Naizar mengiyakan. Tapi suara tangisan Naizar terdengar makin
keras. Ada apa ini? Saya mulai kesal. Pintu kamar mandi diketuk, Abinya Naizar.
“Dede kupas mangganya pengen sama ibu.” Ujarnya. Astagfirulloh Naizaaaarrr… Dengan cepat
saya kembali berpakaian, lalu dengan kaki yang menghentak keras saya mendekati
Naizar yang masih menangis.
“Dede, kenapa kupas mangganya harus sama Ibu, kan Ibu
lagi mandi?” tanya saya kesal sambil meraih mangga dan pisau yang disodorkan
Abinya Naizar. Melihat saya mulai mengupas mangga kesukaannya, tangisan Naizar
mereda, tapi emosi saya tidak. “Ibu teh
kan mau kerja, nanti Ibu kesiangan. Kalau mau kupas mangga mah sama siapa aja atuh, ga
usah sama Ibu, rasanya tetep sama
ko.”
Dengan kesal saya mengupas kulit, dan memotong daging
buah seperti potongan dadu. Mulut saya diam, tapi hati saya tetap menggerutu.
Kesaaal, pasti bakal kesiangan ngantor gara-gara mengupas mangga. Ketika
setengah potong mangga sudah tersaji dipiring saya baru tersadar. Ya Alloh,
mangga ini saya sajikan dengan kesal, sambil menggerutu, tidak ikhlas. Apakah
ada keberkahan di dalamnya? Mangga ini akan dinikmati oleh putra saya, akan
jadi energi yang mengalir ditubuhnya. Apakah energinya akan mengalir baik jika
cara penyajiannya tidak baik?
Allohumagfirli
wali walidayya warhamhuma kamaa rabbayani shogiroo. Saya mengajarkan doa agar Alloh menyayangi saya
sebagaimana saya menyayangi Naizar sewaktu kecil. Tapi seperti inikah saya
menyayangi Naizar? Menyiapkan makanan saja tidak ikhlas, bagaimana mungkin
Alloh akan ikhlas pada diri saya.
Astagfirullohaladzhim. Ampuni saya, Rabb. Saya
membalik bagian mangga yang belum terkupas dan mulai berdoa. Saya ikhlas,
menyajikan makanan untuk putra saya dengan ridho, agar Alloh pun menyayangi
saya dengan ridho. Semoga Alloh mengampuni khilaf saya.
Potongan mangga telah tersaji dipiring. Saya serahkan
pada Naizar yang menerimanya dengan hati gembira. Selamat menikmati, Nak,
potongan mangga berbalut doa, semoga menjadi energi terbaik untuk beribadah dan
menuntut ilmu. Aamiin.
*Ditulis buat Anak Sholeh yang selalu senang saat musim buah mangga tiba, Naizar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar